Selasa, 20 November 2012

Makalah Desain Intruksional


BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Dewasa ini perkembangan ilmu psikologi berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai macam landasan pada psikologi ini menunjang pembelajaran ini menjadikan peserta didik merasa menyenangkan ketika di dalam kelas dan materi pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien. Tercapainya tujuan atau kompetensi yang menunjukkan peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Hal ini berpengaruh langsung pada peserta didik akan malasnya berangkat ke sekolah, kurang memperhatikan penyampaian materi yang disampaikan pendidik dan kurang berminatnya peserta didik dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik. Hal ini menyebabkan adanya teori – teori belajar menjadikan bekal sebagai arahan pada pendidik dalam menjalani proses belajar mengajar dengan karater siswa yang beraneka ragam, unik dan berbagai ciri. Teori sebagai sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung. Sedang Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Perubahan ini  harus relatif permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teori-teori belajar. Kebutuhan akan teori menjadi hal yang penting. Snelbecter dalam Ratna Wilis (1991:1), berpendapat bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan vital bagian psikologi dan pendidikan untuk dapat maju, berkembang dan memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang. Untuk itu pemahaman tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang bersifat teoritis dan telah diuji kebenarannya melalui ekspreimen sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan hal tersebut melahirkan teori belajar dan teori instruksional. Teori belajar bersifat deskriptif dalam membicarakan proses belajar, sedangkan teori instruksional lebih bersifat preskriptif dan menerangkan apa yang harus dilaksanakan untuk membicarakan masalah-masalah praktis didunia pendidikan (Snelbecker, 1974 dalam teori, 1997), sedangkan teori instruksional adalah preskriptif. Artinya teori belajar mendeskripsikan terjadinya proses belajar, sedangkan teori instruksional mendeskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal untuk memudahkan proses belajar.       

Seiring dengan perkembangan teori psikologi, teori-teori belajar bermunculan. Salah satu diantara teori belajar yang terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner, Thorndike, Watson dan lain-lain. Teori belajar ini merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.

Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti  kinerja mesin atau robot, padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai  kelemahan teori behaviorisme.

Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori behaviorisme dapat diambil suatu pertanyaan, “Upaya apa yang akan dilakukan oleh  para ahli psikologi pendidikan dalam  mengatasi kelemahan teori tersebut ?’’Realitas ini sangat penting untuk dibahas dalam makalah ini.
Untuk itu pembahasan makalah ini ditulis  untuk mengungkap masalah-masalah tersebut. Berdasarkan tulisan-tulisan dalam berbagai literatur, ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru tentang belajar yaitu teori belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan menyumbangkan pemikiran besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar sebagai  lanjutan dari teori behaviorisme tersebut. Dengan berkembangnya teori belajar yang menekankan pada kognitif dapat digunakan untuk mencari strategi atau metode yang bagaimana agar dapat dilakukan proses pembelajaran secara tepat sesuai dengan tujuan belajar yaitu untuk melakukan perubahan terhadap peserta didik yang lebih baik dan belih bersifat permanen.

Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, makalah ini akan menguraikan tentang teori belajar kognitivisme dan desain instruksional yang dapat dijadikan oleh pendidik untuk melaksanakan proses belajar terhadap peserta didik di sekolah.

1.2  Rumusan Masalah

       Berdasarkan pada latar belakang yang sudah penulis uraikan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian dari teori belajar kognitivisme?
2.      Bagaimanakah penerapan teori tersebut dalam kegiatan pembelajaran?
3.      Siapa saja yang menjadi tokoh dalam teori belajar kognitivisme?
4.      Bagaimana implikasi teori belajar kognitivisme?

1.3   Tujuan dan manfaat

Adapun tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penyususnan makalah ini antara lain :
1.      Agar memahami tentang teori belajar kognitivisme
2.      Untuk mengetahui bagaimaan cara penerapan teori belajar kognitivisme dalam kegiatan pembelajaran
3.      Memahami tentang pandangan daritokoh-tokoh yang menganut aliran teori belajar kognitivisme.
4.      Mengkaji implikasi teori belajar kognitivisme

Sedangkan manfaat dalam penyusunan makalah ini antara lain :
1.      Secara teoritis : untuk mengkaji ilmu pendidikan khususnya dalam memahami implikasi pendidikan, pembelajaran, pengajaran, prinsip-prinsip pembelajaran dan perkembangan teori belajar khususnya teori belajar kognitivisme.
2.      Secara praktis,  bermanfaat bagi:
a.       Para pendidik : agar pendidik tidak salah persepsi tentang pendidikan, pembelajaran dan pengajaran serta dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori belajar yang sesungguhnya.
b.      Mahasiswa : agar memahami tentang pengertian, prinsip dan perkembangan teori belajar khususnya teori belajar kognitivisme..














BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Pengertian Teori Belajar

         Teori adalah sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik dan yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974 dalam Dahar, 1988: 5). Proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, artinya, kumpulan proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi lainnya dan juga pada data yang diamati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, proposisi berarti rancangan usulan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 899).
        Dengan demikian proposisi dalam kaitannya dengan teori  berarti rancangan gagasan untuk memprediksi dan mejelaskan fenomena-fenomena. Salah satu fenomena itu adalah belajar dan pembelajaran yang terjadi dalam dunia pendidikan.

        Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Individu dapat dikatakan telah mengalami proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan dalam kecendrungan perilaku (De Cecco & Crawford, 1977 dalam Ali, 2000: 14). Perubahan perilaku tersebut mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya yang dapat maupun tidak dapat diamati . Perilaku yang dapat diamati disebut penampilan (behavioral performance). Sedangkan yang tidak dapat diamati disebut kecendrungan perilaku (behavioral tendency). Penampilan yang dimaksud dapat berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan, dan melakukan sesuatu perbuatan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara perilaku hasil belajar dengan yang terjadi secara kebetulan. Seseorang yang secara kebetulan dapat melakukan sesuatu, tidak dapat mengulangi perbuatan itu dengan hasil yang sama. Sedangkan seseorang dapat melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat melakukkannya secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Gagne (1977) seperti yang dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode atau perlakuan).

        Dalam memahami antara teori belajar dan teori pembelajaran da perbedaan yang prinsip. Teori belajar adalah deskriptif, karena tujuan utamanya memeriksa proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif, karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal (Bruner dalam Degeng, 1989 dalam Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada bagaimana peserta didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran merupakan variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung atau terikat. Dengan demikian, dalam pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi.

       Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik, yaitu hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bisa jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena teori belajar adalah deskriptif, maka menggunakan struktur logis. Dalam  proposisi teori belajar, model pengorganisasian pembelajaran (model elaborasi) ditetapkan sebagai perlakuan, di bawah kondisi karakteristik isi pelajaran, untuk memberikan perubahan unjuk kerja (actual outcomes), berupa peningkatan perolehan belajar dan retensi. Dengan demikian teori belajar menyatakan bahwa, apa yang terjadi secara psikologis bila suatu tindakan belajar dilakukan oleh seseorang.

       Teori pembelajaran, fokus diarahkan kepada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Oleh karena itu teori pembelajaran berhubungan dengan upaya mengontrol variable-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat mudah belajar. Dalam hal ini, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai givens, dan metode yang optimal ditetapkan sebagai variabel yang diamati. Jadi, kondisi dan hasil pembelajaran sebagai variabel bebas, sedangkan metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Teori pembelajaran adalah goal oriented, artinya, teori pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Reigeluth, 1983; Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 12). Oleh karena itu, variabel yang diamati dalam teori pembelajaran adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan. Teori pembelajaran, peningkatan perolehan belajar dan retensi ditetapkan sebagai hasil pembelajaran yang diinginkan, dan model elaborasi yang merupakan salah satu model untuk mengorganisasi materi pelajaran, dijadikan metode yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam teori pembelajaran harus terdapat variabel metode pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri peserta didik. Jadi, dalam teori pembelajaran, terdapat preskripsi tindakan belajar yang harus dilakukan agar proses psikologis dapat terjadi.

2.2        Teori Belajar Kognitivisme

       Dalam perkembangannya teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu teori sebelum abad ke-20 dan teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen.

       Pada  teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field, berlandaskan pada segi kognitif(Ali,2000: 20). Dalam kesempatan ini akan saya uraian mengenai teori belajar kognitivisme.

       Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behaviorisme_dimana perilaku manusia tunduk pada peneguhan dan hukuman. Pandangan behaviorisme yang  mengatakan bahwa seorang siswa dari segala umur akan giat belajar, kalau diberikan suatu hadiah (rangsangan/stimulus), yang berwujud materi kepadanya atau diterapkan suatu hukuman, harus dikatakan mempunyai pandangan yang terlalu simplistis. Memang, harapan akan mendapat hadiah dapat mendorong siswa untuk belajar tetapi belum tentu siswa itu akan bermotivasi tepat dalam belajar, yaitu belajar demi perkembangan dirinya sendiri, bahkan ada kemungkinan siswa itu akan mengurangi usaha belajarnya, kalau hadiah yang berwujud materi itu sudah tidak berarti lagi baginya. Demikian pula, siswa yang telah beberapa kali kena hukuman karena kurang rajin, belum tentu akan meningkatkan usahanya, bahkan dapat terjadi yang sebaliknya. Siswa itu mungkin belajar sesuatu yang tidak diharapkan, yaitu membenci guru dan sekaligus materi pelajaran. Oleh sebab itu menggunakan hadiah yang berwujud materi dan memberikan hukuman secara tepat, menuntut pertimbangan tentang efek yang positif dan negatif. Perspektif kognitif menguraikan  Pandangan kognitivisme yang menonjolkan peranan dari keyakinan, tujuan, penafsiran, harapan, minat, kemampuan dan lain sebagainya. Pandangan ini menggarisbawahi apa yang berlangsung dalam diri subyek yang berhadapan dengan berbagai kejadian dan pengalaman. Orang tidak bereaksi terhadap rangsangan secara otomatis seolah-olah mereka sebuah mesin, tetapi bereaksi atas interpretasi mereka terhadap rangsangan itu. Di dalam interpretasi itu terkandung unsur kognitif seperti penafsiran, keyakinan, penentuan tujuan, perkiraan tentang kemungkinan mencapai sukses, serta penilaian tentang kemampuan sendiri untuk mengejar suatu sasaran. Misalnya seorang mahasiswa yang sedang berkonsentrasi penuh pada suatu proyek studi tidak harus segera mencari makanan sebegitu mulai merasa lapar tetapi dapat menunda saat makan sampai proyek itu selesai. Misalnya lagi, seorang siswa SMA tidak harus memulai membaca suatu buku setelah diberi tugas oleh  guru, tetapi dia dapat mempelajarinya atas inisiatif sendiri, karena beranggapan bahwa mata pelajaran tertentu patut diperdalam dan dia mampu untuk itu. Oleh sebab itu pada dasarnya isi interpretasi yang diberikan terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam itulah yang mengandung daya motivasional. Sesuai dengan pandangan kognitivisme, orang terutama dilihat sebagai  sumber motivasinya sendiri berdasarkan kegiatan mental dalam alam pikirannya, sehingga tergerak untuk memulai aktivitas tertentu, bertahan dalam aktivitas itu dan mengarahkannya untuk mencapai suatu tujuan.  Ternyata hal itu ditemui tiap individu justru merencanakan respons perilakunya,  menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.

1.      Jenis Pengetahuan

       Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tetapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.          Pengetahuan Deklaratif
Yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
b.         Pengetahuan Prosedural
Yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”. Contoh,  Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut.
c.       Pengetahuan Kondisional
Yaitu pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan. Seperti.siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.

2.      Model Pengolahan Informasi

       Untuk menggunakan tiga jenis pengetahuan tersebut di atas, tentunya kita harus dapat mengingatnya dengan baik. Hal berikutnya teori belajar yang dibahas dalam perspektif kognitif ini adalah tentang bagaimana individu mengingat dan bagian apa saja dari memori yang bekerja dalam proses berpikir seperti pada pemecahan masalah. Model pengolahan informasi merupakan salah satu model dari perspektif teori belajar ini yang menjelaskan kerja memori manusia sesuai dengan analogi komputer, yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan yaitu :
a.       Memori Sensori adalah sistem mengingat stimuli secara cepat sehingga analisis persepsi dapat terjadi.
b.      Memori Kerja atau memori jangka pendek, menyimpan lima sampai sembilan informasi pada satu waktu sampai sekitar 20 detik, yang cukup lama untuk pengolahan informasi terjadi. Informasi yang dikodekan (decode) serta persepsi tiap individu akan menentukan apa yang perlu disimpan di memori kerja ini.
c.       Memori Jangka Panjang menyimpan informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama. Informasi di dalamnya disimpan dalam bentuk secara verbal dan visual.

Memori Sensori
Memori sensori adalah sistem yang bekerja seketika melalui alat indera dimana kita memberikan arti kepada stimuli yang datang dinamakan persepsi. Arti yang diberikan berasal dari realitas objektif serta dari pengetahuan kita sebelumnya. Contohnya, suatu symbol ‘l’ akan dipersepsi sebagai huruf alpabet tertentu kalau kita menggolongkannya dalam urutan j, k. l, m; namun dalam kesempatan berbeda seperti l, 2, 3, 4 maka symbol yang sama bermakna angka satu. Memori sensori akan menangkap stimuli dan mempersepsi, atau memberikan makna; dalam hal ‘l’ konteks dan pengetahuan kita akan menentukan makna yang akan diberikan, bagi seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang angka atau huruf, maka symbol itu kemungkinan tidak bermakna apapun. Misalnya teks yang anda baca saat ini akan dipersepsi berbeda oleh orang lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun yang buta huruf, walaupun matanya melihat deretan simbol yang sama seperti Anda; ataupun saat kita membaca huruf kanji dari koran berbahasa Jepang, dimana kita tidak punya kemampuan untuk memahaminya. Memori sensori tidak hanya bekerja untuk simbol saja namun juga dalam hal warna, gerakan, suara, bau, suhu dan lainnya yang semuanya harus dipersepsi secara simultan. Namun karena keterbatasan kemampuan, kita hanya dapat memfokuskan pada beberapa stimuli saja dan mengingkari yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian sangatlah selektif; dengan kata lain saat perhatian penuh sangat diperlukan, biasanya stimuli lainnya akan ditolak.

 Perhatian adalah tahap pertama dalam belajar. Siswa tidak dapat memahami apa yang mereka tidak kenali atau tidak dapat dipersepsi. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Cara lainnya adalah melalui perlakuan pada kata yang diucapkan atau ditulis oleh guru dengan warna yang kontras, digaris bawahi atau ditandai; memanggil siswa secara acak, memberikan kejutan siswa, menanyakan hal yang menantang, memberikan masalah yang dilematis, mengubah metode mengajar dan tugas, mengubah frekuensi suara dan jedanya akan dapat membantu menarik perhatian dari siswa.
Memori Kerja
       Saat stimulus dipersepsi dan diubah menjadi suatu pola gambar atau suara, informasi yang didapat menjadi tersedia untuk proses selanjutnya. Memori kerja adalah tempat dimana informasi baru ini berada dan digabungkan dengan pengetahuan yang berasal dari memori jangka panjang. Kapasitas memori kerja ini sangat terbatas, dari berbagai eksperimen kapasitas yang dapat disimpan sekitar lima sampai sembilan hal baru dalam satu waktu. Satu nomor telepon sepanjang tujuh desimal dapat diingat oleh rata-rata manusia dewasa, namun hal yang berbeda bila disuruh untuk mengingat dua buah nomor telepon (14 desimal). Kita tidak dapat memanggil kedua nomor telepon tadi karena terbatasnya kapasitas memori kerja ini. Hal lainnya dari memori kerja ini adalah waktu yang digunakannya pun hanya sekitar 5 sampai 20 detik saja. Namun walaupun begitu, waktu tersebut sangat cukup misalnya untuk mengingat dan memahami apa yang dibaca dalam bagian awal kalimat ini sebelum mencapai akhir kalimat. Tanpa adanya memori kerja, kita tidak bisa memahami susunan kata dalam satu kalimat dan gabungan antara kalimat yang berdekatan. Karena sedikit dan sempitnya memori ini bekerja, maka jenis memori ini harus terus diaktifkan, kalau tidak, maka informasi yang didapat menjadi hilang. Supaya apa yang diingat bisa lebih panjang dari 20 detik, kebanyakan orang memakai strategi tertentu untuk mengingatnya. Cara yang pertama adalah strategi latihan yang terbagi menjadi pengelolaan dan elaboratif. Latihan pengelolaan dilakukan dengan pengulangan informasi di pikiran anda. Sepanjang anda terus melakukan pengulangan informasi, hal itu akan berada di memori kerja. Cara ini dapat berguna untuk mengingat sesuatu, seperti nomor telepon, yang kemudian untuk dipergunakan dan setelah itu tidak perlu diingat lagi. Cara latihan elaboratif adalah dengan menghubungkan sesuatu yang baru dengan apa yang sudah diketahui, yaitu informasi yang sudah terdapat di memori jangka panjang. Latihan elaboratif ini tidak hanya meningkatkan memori kerja, tetapi membantu memindahkan informasi memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Cara kedua adalah dengan pengelompokkan (chunking) yang dipergunakan untuk menanggulangi terbatasnya kapasitas memori kerja. Banyaknya bit informasi__ bukannya ukuran setiap bit adalah sisi keterbatasan memori kerja. Kita dapat mengingat informasi lebih banyak jika dapat mengelompokkan tiap-tiap bit menjadi unit yang berarti. Deretan enam angka seperti 1, 5, 1, 8, 2, dan 0 akan lebih mudah diingat dalam bentuk dua digit (15, 18 dan 20) atau tiga digit (151, 820). Jika dilakukan cara ini, maka kita cukup perlu mengingat dua atau tiga informasi saja dalam satu waktu dibanding enam buah.

Memori Jangka Panjang
Informasi memasuki memori kerja dengan cepat, namun untuk dapat disimpan di memori jangka panjang, membutuhkan usaha tertentu. Dalam memori jangka panjang inilah berbagai informasi disimpan dan dihubungkan dalam bentuk gambaran dan skema, suatu pola struktur data yang membuat kita bisa menggabungkan informasi kompleks yang sangat besar, membuat kesimpulan dan memahami informasi baru. Bila kapasitas memori kerja sangat terbatas, kapasitas memori jangka panjang dapat dikatakan hampir tak terbatas. Kebanyakan kita tidak pernah menghitung kapasitasnya dan saat satu informasi secara aman sudah disimpan, akan tetap ada disana dalam waktu yang tak terbatas. Secara teoritis walaupun kita mampu untuk mengingat sebanyak yang kita mau namun tantangannya justru adalah memanggilnya, yaitu mendapatkan informasi yang tepat sesuai keinginan. Akses pada informasi membutuhkan waktu dan usaha, karena kita harus mencarinya dalam lautan informasi yang luas dalam memori jangka panjang, dan informasi yang jarang dipakai biasanya akan makin sulit untuk ditemukan. Terdapat tiga jenis memori jangka panjang yaitu:
1)            Episodik.
2)            Prosedural.
3)            Semantik.
       Untuk memanggil dan menambah informasi di memori jangka panjang dibantu dengan:
1)             Elaborasi.
2)            Organisasi.
3)            penggunaan konteks.

       Psikologi pembelajaran kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.

Teori belajar kognitivisme merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun lambat laun perhatian itu mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh  siswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh  Jean Piagiet, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh  Jerome Bruner.

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang bersifat jasmaniah meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya. Meskipun pendekatan kognitif  ini sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti pendekatan kognitif anti terhadap aliran behavioristik.

2.3        Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitivisme

Ada 3 tokoh dalam aliran teori belajar kognitivisme yaitu :

1.      PIAGIET
       Menurut Jean Piagiet, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a.   Asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif  yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai  informasi baru) itu yang disebut asimilasi.
b.    Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.

              Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongrit dan operasional formal). Jadi, secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikirnya.

       Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

2.      AUSUBEL
       Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika “pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance organizers) dalam penyajian informasi yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi bermakna. Selanjutnya dikatakan bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak, sebagian lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa.. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan lebih bermakna dari pada kegiatan belajar. Dengan ceramahpun asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistimatis akan diperoleh hasil belajar yang baik pula. Ausubel mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu
(1) Belajar dengan penemuan yang bermakna
(2) Belajar dengan ceramah yang bermakna
(3) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna
(4) Belajar dengan ceramah yang tidak bermakna.
      
       Dia berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan bermakna, karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Dengan demikian bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika materi yang dipelajari bermakna.


3.      BRUNNER
        Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.

       Dalam teori belajar, Jerome Brunner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap yaitu : Ketiga tahap itu adalah:
(1) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru.
(2) Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain.
(3) Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.

       Brunner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan . Ia juga mengemukakan bahwa dalam belajar ada empat tema pendidikan yaitu:
(1)    Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan.
(2)    Kesiapan (readiness) siswa untuk belajar.
(3)    Nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi.
(4) Motivasi atau keinginan untuk belajar siswa dan cara  untuk memotivasinya.

       Dengan demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran intelektual kepada peserta didik, bahkan dalam tahap perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan. Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa.

       Brunner juga memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai  realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh  para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh  sejauhmana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.

       Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh  proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.


2.4. Implementasi Teori Belajar Kognitivisme

       Teori belajar kognitivisme pada dasarnya bahwa terjadinya perubahan perilaku dalam proses pembelajaran tidak sepenuhnya didasarkan pada interaksi antara stimulus dan respon semata, melainkan belajar pada asasnya adalah peristiwa mental dengan menonjolkan peranan dari keyakinan, tujuan, penafsiran, harapan, minat, kemampuan dan lain sebagainya. Orang tidak bereaksi terhadap rangsangan secara otomatis seolah-olah mereka sebuah mesin melainkan bereaksi atas interpretasi mereka terhadap rangsangan itu. Di dalam interpretasi itu terkandung unsur kognitif seperti penafsiran, keyakinan, penentuan tujuan, perkiraan tentang kemungkinan mencapai sukses, serta penilaian tentang kemampuan sendiri untuk mengejar suatu sasaran.

a.          Implementasi teori belajar kognitivisme menurut Piagiet:
Dalam proses pembelajaran agar kegiatan belajar dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan maka proses belajar harus memperhatikan 3 tahap yairu :
1)      Pada pemberian materi pembelajaran harus dikaitkan dengan apa yang sudah dimiliki atau diketahui oleh siswa
2)      Penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
3)      Penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi
Agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya.
b.         Implementasi Teori Belajar kognitivisme menurut Brunner
Dalam kegiatan pembelajaran materi harus disusun sedemikian rupa sehingga mengikuti tahapan-tahapan : mengingat,  menerapkan, dan akhirnya sampai pada tahap penemuan konsep. Dalam hal ini sampai siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu dan bermakna bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu proses belajar harus dilakukan dengan suatu kegiatan yang bermakna dengan divisualisasikan dan menggunakan symbol-simbol yang dipahami dan dimengerti oleh siswa.

c.          Implementasi Teori Belajar kognitivisme menurut Ausubel
Dalam proses pembelajaran guru harus mengarahkan pada pemberian materi yang dapat diasimilasikan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Oleh sebab itu materi yang diberikan kepada siswa harus benar-benar yang bermakna bagi siswa yang sedang belajar.
















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan

       Teori belajar kognitivisme merupakan teori yang mengungkapkan bahwa proses belajar siswa tidak didasarkan pada adanya stimulus dan respon semata, melainkan bahwa siswa belajar didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki dan kebermaknaan dari materi yang dipelajarinya. Dalam teori ini diungkapkan bahwa siswa akan senang dan selalu belajar jika merasa ada manfaatnya bagi dirinya. Oleh sebab itu dalam proses belajar mengikuti tahapan-tahapan mengingat, menerapkan dan akhirnya menemukan konsep baru yang bermakna bagi dirinya.

       Beberapa tokoh teori belajar kognitivisme mengemukakan pandangannya sebagai berikut :

No
Piagiet
Brunner
Ausubel
1



2
Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa



Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a. Asimilasi
b. Akomodasi
c. Equilibrasi
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur siswa


Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a. Enaktif (aktivitas)
b. Ekonik (visual verbal)
c. Simbolik
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru


Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
a. Memperhatikan stimulus yang diberikan
b. Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
        Dalam prinsip kognitivisme banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
  1. Si belajar atau siswa akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu dan bermakna.
  2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
  3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian.

3.2  Saran

       Dalam proses pembelajaran sebagai seorang guru tidak hanya memberikan suatu stimulus yang akan direspon oleh siswa melainkan harus mampu memberikan atau memilih materi yang akan diberikan harus dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan mengkaitkan materi tersebut diharapkan siswa dapat menemukan suatu konsep baru yang dirasakan manfaatnya oleh siswa tersebut.

       Dalam pemberian materi harus didasarkan pada tahapan-tahapan berpikir peserta didik dari mengingat sampai dengan mampu menemukan konsep baru dan dapat tersimpan  dalam memori siswa.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.M. 2000. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan ke-10. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas.
Hadis, Abdul, 2006. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Syah, Muhibbin, 1997.Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Uno, Hamzah B, 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Winkel, W. S, 2004. Psikologi Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi.
http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
http://fisikaumm.blogspot.com/2009/01/psikologi-pembelajaran-kognitif.html
http://neozonk.blogspot.com/2008/02/teori-belajar.html